JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah terus mendorong pemanfaatan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan peran EBT untuk menggantikan energi fosil yang selama ini mendominasi jumlah energi di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) untuk dijadikan listrik dan gas. Bagaimana caranya?

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, Rida Mulyana menjelaskan, pengolahan yang dilakukan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) akan menghasilkan dua macam limbah, yaitu padat dan cair. Limbah padat antara lain berupa cangkang kelapa sawit, serat, dan tandan kosong. Sedangkan limbah cair merupakan lumpur sisa pengolahan yang mengandung sisa minyak, yang biasanya dikumpulkan PKS di sebuah kolam khusus.

Nah, limbah sawit padat ini dapat diolah menjadi bahan baku pembangkit listrik tenaga biomassa. Sedangkan limbah cair dapat menghasilkan biogas untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga  biogas.

Rida Mulyana mengatakan, listrik yang dapat dihasilkan dari limbah pengolahan pabrik kelapa sawit (PKS) sangat besar. Limbah yang dihasilkan dari setiap pabrik kelapa sawit yang mengolah 30 sampai 35 ton tandan buah segar (TBS) dapat diubah menjadi listrik dari biogas sebesar 1 megawatt dan listrik dari biomassa sebesar 3 megawatt. Sedangkan saat ini di Indonesia terdapat sekitar 850 PKS di Indonesia.

"Jika satu pabrik produksinya 30-40 ton per hari, kurang lebih listrik yang dihasilkan empat megawatt. Itu satu pabrik, jika semuanya kurang lebih lima gigawatt," ujarnya di Jakarta, Rabu (24/6) lalu.

Untuk limbah cair, PKS dapat menampungnya di sebuah kolam khusus. Genangan limbah ini yang biasanya berbuih ini pada akhirnya akan menguap dan menghasilkan gas metana. Gas ini dapat ditangkap dan dikumpulkan. Selanjutnya, gas dapat dialirkan untuk kebutuhan untuk menggerakkan pembangkit listrik tenaga biomassa. Gas juga dapat dialirkan melaui pipa untuk konsumsi rumah tangga masyarakat sekitar.

"Limbah digenangkan, lama-lama gasnya keluar dan ditangkap (melalui bangunan berbentuk) seperti tenda atau balon. Gas lama-lama menumpuk dan dapat dialirkan ke rumah atau turbin," urainya.

POTENSI BESAR LIMBAH SAWIT - Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memperkirakan, produksi minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO) Indonesia di tahun 2015 mencapai 31 juta ton. Angka ini sedikit naik dari jumlah produksi CPO tahun 2013 yang mencapai 4 yang berjumlah 26,2 juta ton. Produksi CPO yang begitu besar tentu saja menghasilkan limbah dalam jumlah besar juga.

Data dari Dana Mitra Lingkungan menyebut, saat ini limbah cair dari PKS diperkirakan mencapai 28,7 juta ton setiap tahunnya. Selain itu, masih ada limbah padat sejumlah 15,2 juta ton per tahun. Kedua jenis limbah itu jika dikonversi maka akan menghasilkan 90 juta m3 biogas. Jumlah ini setara dengan 5 juta ton gas elpiji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan satu juta kepala keluarga setahun penuh.

Rida mengatakan, pabrik kelapa sawit (PKS) akan mendapatkan banyak untung jika mau mengolah limbahnya untuk dijadikan energi. Selama ini PKS juga telah diwajibkan untuk mengolah terlebih dahulu limbah cair mereka sebelum membuangnya ke lingkungan. Dan itu, perlu dana tersendiri untuk mengolahnya.

"Selama ini kan ketentuannya namanya limbah harus di-treat. Itupun costly. Dari pada mereka keluarkan duit (untuk ngolah limbah), dan limbahnya juga ada, makanya kita tawarkan teknologi baru. Limbahnya bisa di-convert menjadi energi," ujar Rida.

Jika PKS mau mengolah limbahnya menjadi energi, maka dia akan mendapatkan potensi penghasilan tambahan. Untuk mengolahnya, PKS tidak harus menggarapnya sendiri. PKS dapat menggandeng investor. "Karena entitas (usaha)nya beda, pabrik kelapa sawit dan pembangkit. linknya hanya limbah itu," ujarnya.

Rida mengatakan PKS tidak diberi beban untuk memproduksi listrik dalam jumlah tertentu. Selain itu, PKS juga dibebaskan untuk menjual listriknya ke PLN ataupun digunakan sendiri. "Ini kan limbah yang biasanya mereka buang, lalu diconvert ke listrik. 100 persen hasilnya dipakai PKS juga nggak apa-apa," katanya.

TAWARAN UNTUK INVESTOR -  Rida mengatakan, pada Agustus 2015 nanti pemerintah akan meminta semua pabrik kelapa sawit mengolah limbahnya menjadi biogas. Baik itu PKS melakukan investasi sendiri ataupun mengajak investor lain seperti perusahaan penyedia energi listrik swasta atau independent power producer (IPP), untuk menggarapnya. Untuk mempercepat pelaksanaannya, pemerintah akan mengeluarkan peraturan melalui Kementerian Lingkungan Hidup  (LH) dan Kehutanan.

Hal itu terjadi karena limbah yang dihasilkan PKS merupakan urusan dari Kementerian LH dan dan Kehutanan. Sedangkan PKS sendiri, berada di bawah binaan Kementerian Pertanian. Rida menjelaskan, kebijakan ini awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2018. Namun dipercepat pada tahun ini karena tanggapan dari PKS bagus.

Mereka tertarik dengan iming-iming harga bagus dan insentif lain yang ditawarkan. Termasuk mengenai harga transmisi listrik yang dibangun oleh PKS. "Harga yang kita set up termasuk transmisi. Jadi transmisi bukan beban PLN sepenuhnya (untuk membangun). Jaraknya mungkin sampai 45 km, ditanggung oleh itu. Makin dekat makin menguntungkan," kata Rida.

Rida mengatakan, pemerintah menyediakan insentif berupa regulasi yang memungkinkan PKS dan investor tertarik masuk ke dalam bisnis ini. Pertama, memberikan harga listrik yang menguntungkan.  Kedua, PKS tidak perlu melakukan negosiasi harga dengan PLN. "Hasilnya kan pasti, listrik. Listriknya dijual ke PLN. PLN tidak boleh negosiasi karena harganya sudah ditentukan (pemerintah)," katanya.

Rida mengaku saat ini juga tengah mempersiapkan revisi atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2014. Di aturan aturan baru tersebut, dia akan kembali menaikkan harga jual listrik dari PKS atau IPP ke PLN. Harga jual listrik juga akan dikonversi ke dalam satuan dolar Amerika Serikat. Hal itu dilakukan untuk menutupi potensi kerugian yang diderita IPP akibat anjloknya nilai tukar rupiah atas dolar Amerika Serikat.

"Saya mau revisi karena Permen itu disusun dengan anggapan, asumsi kurs-nya itu Rp10.500. Sekarang kan sudah Rp13.000 lebih. Revisi kenaikan tarif segera, lagi diproses, tahap akhir," katanya. Dengan begitu, harga listrik yang diproduksi PKS tidak akan terpengaruh oleh kurs. Meskipun tarif diubah dalam satuan dolar, tapi transaksi akan kita tetap dilakukan dengan menggunakan mata uang rupiah.

Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 tahun 2014 berisi tentang pembelian listrik dari pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) dan pembangkit listrik tenaga biogas (PLTbg) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di aturan ini ditetapkan bahwa harga jual PLTBm adalah Rp1.150/kWh jika terkoneksi dengan jaringan listrik tegangan menengah dan Rp1.500/kWh jika terkoneksi dengan jaringan tegangan rendah. Sedangkan untuk PLTBg, harganya 1.050/kWh jika terkoneksi dengan jaringan listrik tegangan menengah dan Rp1.400/KWh jika terkoneksi dengan jaringan tegangan rendah.

Selain itu ada tambahan harga berupa "faktor F" yang merupakan insentif tambahan yang variatif, tergantung daerahnya. Penambahannya dengan cara mengalikan harga pembelian listrik oleh PLN tadi dikali faktor F. Faktor F untuk pulau Jawa 1,00; Sumatera 1,15; Sulawesi 1,25; Kalimantan 1,30; Bali dan Bangka Belitung serta Lombok 1,50; sedang Riau dan Papua serta pulau lainnya 1,60. Permen Nomor 27 tahun 2014 ini merupakan perbaikan dari Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2012. Permen ini dibuat sebagai bentuk insentif dari pemerintah untuk mendorong minat investor dalam pengembangan pembangkit listrik biomassa dan biogas.

KESIAPAN INVESTOR - Rida melanjutkan, limbah sawit ini juga dapat menjadi garapan baru yang menarik bagi para investor. Limbah sudah tersedia dari pabrik kelapa sawit dan listrik yang dihasilkan pasti dibeli PLN. Investor tinggal mencari PKS yang punya punya kontinuitas dalam pengolahannya. Rida mengatakan, saat ini sudah ada 30-an investor berbadan hukum Indonesia yang menyodorkan proposal ke Direktorat Jenderal EBTKE untuk menggarap limbah sawit ini.  

Salah satu IPP atau perusahaan penyedia energi listrik swasta yang menyatakan kesiapannya untuk berinvestasi adalah PT Sumberdaya Sewatama. Koes Prakoso, CEO Sewatama, mengatakan, perusahannya akan melakukan investasi dengan cara bekerja sama dengan pihak beberapa pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS). Sewatama menawarkan kepada PKS untuk menyediakan pendanaan teknologi, mengoperasikannya, melakukan perawatan mesin serta penjualnnya ke PLN.

Koes mengatakan bahwa saat ini dia telah menjajaki beberapa perusahaan di Kalimantan Sumatera. "Ada dua potential project yang sudah kita develop di Kalimantan dan satu yang sedang dijajaki," katanya di Gedung Dewan Pers Jakarta Pusat, Rabu (24/6).

Jika di akhir tahun 2015 ini mereka sudah mendapatkan perjanjian kerjasama jual beli listrik dengan PLN maka pembangkit akan segara berproduksi akhir tahun 2016. "Semoga akhir tahun depan kita sudah aktif," ujarnya.

Koes menemukan, pabrik pengolahan kelapa sawit yang disurveinya rata-rata bisa mengolah 60-90 ton tandan buah segar (TBS) kelapa sawit per jam. Karena setiap 60 ton TBS bisa menghasilkan listrik sebesar 1,5-1,7 megawatt maka mereka akan membangun pembangkit listrik tenaga biogas berkapasitas antara 1,5-3 megawatt. "Tergantung seberapa konsisten dan seberapa kontinu produksi pabriknya," katanya.

PEMANFAATAN EBT MASIH KECIL - Sementara itu, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Tisnaldi mengatakan bahwa saat ini pemanfaat energi baru terbarukan masih sangat kecil persentasenya, dibandingkan dengan energi dari fosil. "Sekarang kita masih belum ada 5 persen dari bauran energi nasional," ujarnya kepada Gresnews.com, Rabu (24/6).

Tisnaldi mengatakan, lima persen pemanfataan EBT itu didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air dan panas bumi (geothermal). Padahal, sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN), pada tahun 2025 EBT ditarget mencapai 23 persen dari penggunaan energi nasional. "Itu sesuai dengan KEN, Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014," ujarnya.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) merupakan pedoman yang dibuat untuk menjadi arah pengelolaan energi nasional. Tujuannya untuk menciptakan kemandirian dan ketahanan energi nasional guna mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Di PP ini disebutkan, pada tahun 2025 peran EBT setidaknya 23 persen dari bauran energi nasional. Dibandingkan dengan peran minyak bumi yang dipatok 25 persen, batubara 30 persen dan gas bumi 22 persen.

Karena itu saat ini pemerintah tengah giat memacu pertumbuhan penggunaaan EBT sebagai sumber energi. Tisnaldi mengatakan bahwa semuanya akan digarap, tergantung dari ketertarikan dari para pengembang atau investor. "Semua potensi akan kita garap. Jadi ada investor, tertariknya di mana, itu akan kita fasilitasi," katanya.

Tisnaldi mengatakan, ada kendala umum yang membuat EBT saat ini tidak menjadi pilihan  utama. Yaitu harga energi yang dihasilkan dari EBT yang tidak kompetitif. "Apalagi dibanding dengan BBM yang harganya disubsidi. Apalagi listrik dengan BBM yang harga jualnya juga rendah. EBT nggak kompetitif di situ," ujarnya.

Untuk itu, saat ini pemerintah membuat program CPO Fund melalui Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund). Dana program ini diumpulkan dari retribusi atas ekspor produk kelapa sawit dan produk turunannya. Selain itu, ada juga iuran dari perusahaan kelapa sawit. Program ini dibuat dengan pertimbangan untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan.

Dana CPO Fund dapat digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) perkebunan kelapa sawit, penelitian dan pengembangan perkebunan Kelapa Sawit, promosi perkebunan kelapa sawit; peremajaan perkebunan kelapa sawit; dan untuk sarana dan prasarana, perkebunan kelapa sawit.

Menurut Tisnaldi, CPO Fund yang dikelola oleh Kementerian Keuangan itu antara lain akan digunakan untuk memberi subsidi pada bahan bakar nabati (BBN) dari minyak sawit seperti B20 dan B15. "Itu (CPO Fund) totalnya, kalau dihitung-hitung, kalau semua mematuhi aturan bisa terkumpul sekitar US$750 juta," kata Tisnaldi. (Gresnews.com/Agus Hariyanto)

BACA JUGA: